Bank Indonesia berjanji akan melakukan intervensi agresif setelah nilai tukar rupiah menyentuh titik terendah baru

Bank Indonesia (BI) berjanji akan melakukan “intervensi agresif” di pasar domestik setelah nilai tukar rupiah anjlok ke level terendah dalam beberapa tahun terakhir pada hari Senin, menyusul rencana tarif besar-besaran Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menghantam pasar keuangan global.
Nilai tukar rupiah sempat diperdagangkan pada Rp 17.217 per dolar AS sebelum akhirnya kembali menguat ke kisaran Rp 16.800 terhadap dolar AS pada hari Senin, menurut data Bloomberg. Pada tanggal 25 Maret, nilai tukar rupiah juga sempat merosot ke Rp 16.642 per dolar AS, yang merupakan nilai terlemah sejak Krisis Keuangan Asia tahun 1998.
BI menggelar rapat pada hari yang sama, menanggapi pelemahan rupiah dengan menyiapkan sejumlah langkah untuk menstabilkan nilai tukar dan menjaga kepercayaan pasar. Bursa Efek Indonesia (BEI) dijadwalkan kembali dibuka pada hari Selasa setelah libur selama 11 hari untuk Hari Raya Nyepi dan Idul Fitri.
Pada pertemuan hari Senin, bank sentral mengatakan akan terus melakukan intervensi di pasar luar negeri di Asia, Eropa, dan New York, serta di pasar valuta asing domestik ketika dibuka kembali pada 8 April, juru bicara Ramdan Denny Prakoso mengatakan dalam sebuah pernyataan pada hari Senin.
Ramdan menyatakan BI juga akan membeli obligasi pemerintah di pasar sekunder. “Bank Indonesia juga akan mengoptimalkan instrumen likuiditas rupiah untuk memastikan kecukupan likuiditas di pasar uang dan perbankan domestik,” ujarnya.
Cadangan devisa negara itu turun menjadi US$154,5 miliar pada bulan Februari dari $156,1 miliar pada bulan sebelumnya, sebagian karena intervensi bank sentral dalam beberapa bulan pertama tahun ini.
BI menghubungkan pelemahan rupiah dengan tarif timbal balik yang baru-baru ini diberlakukan oleh Trump dan tindakan balasan Cina terhadap kebijakan yang telah menyebabkan turbulensi pasar keuangan global, yang meningkatkan arus keluar modal dan melemahkan nilai tukar mata uang di pasar negara berkembang.
Tarif timbal balik menargetkan negara-negara yang memiliki defisit perdagangan besar dengan AS, termasuk Indonesia.
Pemerintah Indonesia menanggapinya dengan mencari cara bernegosiasi dengan pemerintah AS, dan mengatakan bahwa mereka tidak akan membalas dengan upaya pelonggaran tarif impor.
Analis pasar mata uang Ariston Tjendra mencatat bahwa pasar masih menunggu respons Trump dalam proses negosiasi, katanya, kelonggaran Trump dapat membawa sentimen positif atas aset-aset dengan risiko lebih tinggi, seperti di pasar negara berkembang, yang juga dapat mengangkat rupiah terhadap dolar AS.
"Selama sentimen negatif masih ada, ada potensi rupiah menghadapi ujian pasar hingga [terdepresiasi lebih lanjut ke] Rp 17.000," katanya kepada The Jakarta Post , Senin.
“Pasar khawatir dengan ketidakpastian global, [aset berisiko tinggi] akan menurun karena perang dagang, yang menyebabkan pelaku pasar menyimpan aset mereka dan meninggalkan aset berisiko demi tempat berlindung yang aman,” katanya.
Ariston juga mengaitkan data Nonfarm Payrolls AS terkini yang menunjukkan membaiknya angka ketenagakerjaan, sehingga memperkuat dolar terhadap mata uang lainnya termasuk rupiah.
Pertumbuhan lapangan kerja AS yang kuat akan mengindikasikan perekonomian AS yang kuat, mengurangi ekspektasi pemotongan suku bunga Federal Reserve (Fed), dan membuat dolar lebih menarik dibandingkan mata uang lainnya.
Sementara itu, para investor berbondong-bondong mendatangi mata uang safe haven seperti yen Jepang dan franc Swiss, yang nilainya menguat pada hari Senin menyusul penentangan dari pejabat AS yang mengindikasikan negosiasi untuk setiap pengurangan tarif akan diperpanjang, menurut Bloomberg.
Yen Jepang naik 1 persen menjadi 145,41 per dolar AS dan franc Swiss naik 0,7 persen karena sentimen penghindaran risiko berlanjut ke minggu kedua.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan kepada Post pada hari yang sama bahwa rupiah dapat terus anjlok hingga sekitar Rp 17.200 hingga Rp 17.800 per dolar.
Ia mengusulkan pemanfaatan cadangan devisa sekitar US$15 miliar-US$20 miliar untuk stabilisasi mata uang agar nilai tukar rupiah tetap di bawah Rp 18.000 per dolar.
Lebih lanjut, ia memperkirakan rupiah akan mengalami tekanan yang signifikan saat pasar saham negara itu dibuka kembali pada 8 April, terutama karena aksi jual oleh investor asing yang akan menyebabkan pasar saham Indonesia jatuh, didorong oleh kekhawatiran terhadap prospek ekonomi domestik di tengah tarif Trump.
Sektor yang akan sangat terdampak tarif tersebut terutama meliputi barang elektronik, sandang, alas kaki, minyak sawit mentah (CPO), nikel, dan batu bara. Ia menambahkan bahwa komoditas ekspor Indonesia mengalami penurunan tajam, seperti batu bara dan nikel yang masing-masing turun 22,4 persen dan 11 persen secara tahun ke tahun (yoy).
“Dengan rendahnya permintaan komoditas yang diperkirakan akibat perang dagang, investor menyesuaikan alokasi aset dalam portofolionya,” kata Bhima, menyiratkan ketergantungan Indonesia yang berkelanjutan pada sumber daya alam untuk mempertahankan perekonomiannya.
Bhima melanjutkan, faktor domestik juga turut berperan besar dalam melemahnya nilai tukar rupiah. Ia menyebutkan, gejolak politik yang berujung pada aksi protes seperti Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang baru, serta kekhawatiran terhadap kondisi keuangan negara menyusul pembentukan dana abadi Danantara, program unggulan berupa makanan bergizi gratis yang mahal, dan menurunnya pendapatan negara.