Peraturan kepolisian Indonesia tentang jurnalis asing memicu kekhawatiran tentang kebebasan pers

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan wartawan asing tetap dapat melakukan peliputan di Indonesia tanpa harus mengantongi izin dari kepolisian, sepanjang tidak melanggar ketentuan perundang-undangan di negara tersebut.
Peraturan Kepolisian Nasional baru yang menguraikan prosedur seputar izin bagi jurnalis asing telah memicu kritik dari organisasi pers dan hukum, yang mengatakan kebijakan tersebut dapat membahayakan kebebasan pers dan membatasi liputan media asing di negara ini.
Peraturan Kepolisian Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pengawasan Fungsional Orang Asing ditandatangani pada tanggal 10 Maret oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Peraturan tersebut bertujuan untuk mencegah, antara lain, “ancaman keamanan, spionase, sabotase, dan kegiatan propaganda terhadap pemerintah”.
Para kritikus dan masyarakat mengangkat alis atas Pasal 5 dan 9 peraturan tersebut, yang menetapkan “persyaratan” tertentu bagi orang asing untuk melakukan pekerjaan jurnalistik atau penelitian di Indonesia, termasuk mengajukan permintaan tertulis yang memuat data pribadi dan memiliki izin jurnalisme resmi.
Mereka mengatakan ketentuan tersebut dapat mencegah wartawan asing melakukan pekerjaan mereka di negara tersebut.
Menanggapi kritik tersebut, Listyo mengatakan pada hari Kamis bahwa jurnalis asing tidak wajib memperoleh izin dari kepolisian untuk melakukan peliputan di Indonesia.
"Tanpa izin dari kepolisian, wartawan asing tetap dapat menjalankan tugasnya sepanjang tidak melanggar hukum yang berlaku," kata Kapolri, seperti dikutip kompas.com .
“Peraturan itu tidak mencantumkan kata 'wajib', tetapi kami dapat menerbitkan surat seperti itu atas permintaan dari penjaminnya,” lanjutnya.
Listyo melanjutkan, wartawan asing dapat meminta perlindungan kepada kepolisian saat meliput di wilayah rawan konflik, seperti Papua.
Hukum yang tumpang tindih
Kendati Listyo sudah meyakinkan, pengamat media menyatakan regulasi baru itu menambah lagi sejumlah persyaratan yang harus dipatuhi wartawan asing saat meliput dari Indonesia.
Liputan media asing di Indonesia dilindungi oleh undang-undang yang berlaku, seperti Undang-Undang Pers tahun 1999 dan Undang-Undang Penyiaran tahun 2002.
Peraturan Pemerintah (PP) tahun 2005 dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (sekarang Komunikasi dan Digital) tahun 2009 juga menetapkan bahwa wartawan asing harus memperoleh izin untuk melakukan peliputan dari menteri komunikasi. Kementerian tersebut juga baru-baru ini membentuk direktorat jenderal ekosistem media, yang memiliki badan khusus yang bertanggung jawab atas perizinan media asing.
Jurnalis asing yang ingin masuk ke Indonesia juga harus mengurus visa kunjungan C5 terbatas 60 hari dengan sponsor dari Kantor Imigrasi.
Dewan Pers yang diberi kewenangan mengawasi wartawan asing berdasarkan Undang-Undang Pers menyesalkan terbitnya peraturan kepolisian tersebut. Mereka menilai, peraturan tersebut merupakan “upaya pengendalian dan pengawasan kerja jurnalistik” yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi.
"Peraturan ini akan menciptakan tumpang tindih kewenangan, memperpanjang birokrasi, dan berisiko dieksploitasi oleh penegak hukum. Dewan Pers menilai hal ini sebagai pelanggaran terhadap asas pers yang demokratis dan independen, yang menjadi landasan penegakan kemerdekaan pers," kata Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu.
Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) menyebut aturan itu sebagai “intervensi berlebihan dan kewenangan polisi yang melampaui batas”.
“Jurnalis asing yang beroperasi tanpa surat izin, yang didefinisikan sebagai izin, dapat dianggap ilegal, sehingga membenarkan tindakan pembatasan terhadap mereka,” kata direktur eksekutif LBH Pers Mustafa Layong.
Muhammad Isnur dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menyebut peraturan internal kepolisian sebagai “pengkhianatan terhadap UUD 1945 dan demokrasi” dan mengatakan hal itu “mengancam upaya untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia”.
Ia mendesak Kepolisian Nasional untuk membatalkan peraturan tersebut dan menahan diri dari mengeluarkan kebijakan serupa yang melanggar prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Membatasi kebebasan pers
Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bayu Wardhana menyebut aturan itu sebagai pembatasan kebebasan pers yang seharusnya dijamin Konstitusi.
"Jurnalis asing dapat melakukan peliputan dengan visa jurnalis, yang sudah sulit diperoleh. Izin tambahan yang diwajibkan dari kepolisian semakin membatasi kebebasan pers," katanya.
Peraturan internal kepolisian tersebut menambah kekhawatiran seputar jurnalis asing yang meliput Indonesia, yang sering menghadapi hambatan dan ancaman penangkapan saat meliput isu-isu lingkungan dan hak asasi manusia, antara lain.
Pada tahun 2020, jurnalis Amerika Serikat Philip Jacobson dari media lingkungan Mongabay ditahan oleh otoritas imigrasi di Kalimantan Tengah atas dugaan pelanggaran visa. AJI menyebut penangkapan tersebut berlebihan dan merupakan dalih administratif untuk menghentikan kegiatan jurnalistik.
Laporan media lokal Papua Jubi yang diterbitkan pada tahun 2023 menemukan bahwa proses mendapatkan visa jurnalis untuk meliput konflik di wilayah tersebut menjadi jauh lebih sulit. AJI juga mencatat bahwa setidaknya 56 permohonan izin untuk meliput di Papua ditolak antara tahun 2012 dan 2015.
Peraturan polisi tersebut juga menambah kekhawatiran mengenai keadaan umum kebebasan pers di Indonesia saat Dewan Perwakilan Rakyat sedang membahas revisi Undang-Undang Penyiaran.
Para pengamat mengecam beberapa draf revisi karena memuat ketentuan yang bermasalah, seperti larangan penyiaran media untuk menerbitkan laporan investigasi. Para aktivis telah meminta legislatif untuk mencabut ketentuan tersebut dari revisi undang-undang.
DPR juga tengah mempertimbangkan usulan untuk merevisi UU Kepolisian tahun 2002. Rancangan undang-undang yang beredar tahun lalu, saat anggota DPR sedang membahas revisi tersebut, memuat ketentuan yang akan memberikan kewenangan lebih besar kepada Kepolisian Nasional dalam hal intelijen, termasuk dalam mengawasi orang asing yang berkunjung ke negara tersebut.